Halaman
Jumlah Jamleh
Jumat, 30 Mei 2014
Menelisik Kedudukan Organ Yayasan
Organ yayasan terdiri atas Pembina, Pengurus dan Pengawas. Tulisan berikut akan meninjau kewenangan Pengurus Yayasan secara umum dengan acuan utama Undang-Undang Yayasan (UUY).
Posisi Ganda
Sebelum UUY, posisi Pengurus di banyak Yayasan bersifat ganda, Pendiri sekaligus Pengurus. Dalam posisi seperti itu, Pengurus Yayasan sering melakukan hal-hal yang melawan hukum. Mereka mendirikan Yayasan tidak murni bermotivasi sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Banyak yang justru dimotivasi dan dikelola untuk mencari untung sebesar-besarnya layaknya perusahaan, tapi dengan menghindari pajak untuk kepentingan diri sendiri, Pendiri/Pengurus.
Cara mereka cukup cerdas. Mereka membuat aturan dalam Yayasan, termasuk AD/ART, untuk melindungi usaha berkedok Yayasan. Yayasan yang bergerak di bidang pendidikan dan rumah sakit adalah dua contoh yang banyak dibicarakan. Keduanya selalu mengekspos diri sebagai yayasan nir laba. Namun, kenyataannya beda. Selain mengutamakan pencarian laba, mereka selalu mencari akal menghindari pembayaran pajak. Itulah sebabnya kedua lembaga tersebut sering jadi sasaran kritik. Mereka dinilai lebih berwarna komersial ketimbang sosial[1].
Lebih parah lagi yayasan yang didirikan oleh Presiden Suharto, keluarga, dan koleganya selagi ia berkuasa. Dalam fungsi ganda Pengurus, “Perampokan” dana dari masyarakat malahan diberi payung hukum. Contohnya Kepres No. 90 Tahun 1995 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Bantuan Yang Diberikan Untuk Pembinaan Keluarga Prasejahtera dan Keluarga Sejahtera I. Juga Kepmenkeu No. 333/KMK.011/1978 tentang Pengaturan Lebih Lanjut Penggunaan 5% (lima persen) Dari Laba Bersih Bank-Bank Milik Negara.
Dalam Kepres No. 90 Tahun 1995 para Wajib Pajak Badan maupun Orang Pribadi dengan laba atau penghasilan bersih di atas Rp 100 juta dinyatakan dapat[2] membantu pembinaan Keluarga Prasejahtera dan Keluarga Sejahtera I melalui antara lain Yayasan Dana Sejahtera Mandiri bentukan Suharto tersebut[3]. Setinggi-tingginya 2% (dua persen) dari laba atau penghasilan setelah PPh yang diperolehnya dalam 1 (satu) tahun pajak. Nyatanya, dana yang terkumpul itu tidak jelas penggunaan dan pertanggungjawabannya, baik selama Suharto berkuasa maupun setelah lengser sampai saat ini
Belajar dari gejala gila itu, maka UUY melakukan pemisahan yang tegas tentang kedudukan dan kewenangan ketiga organ Yayasan. Pendiri atau Pembina tidak boleh rangkap jadi Pengurus dan Pengawas. Pengurus dan Pengawas juga begitu. Tidak boleh merangkap posisi organ lain. Di antara ketiganya ada garis pemisah wilayah kewenangan yang dapat menjadi alat kontrol antara satu dan lainnya.
Kepengurusan Penuh
Setelah UUY terbit, Posisi dan batas “wilayah” kerja Pengurus menjadi tegas. Ia diadakan oleh UUY dengan tugas khusus sebagai pelaksana. Dengan tugas itu, Pengurus tidak boleh orang yang terafiliasi[4] dengan Pendiri atau Pembina dan Pengawas. Mereka diangkat oleh Pembina berdasarkan kapabilitas yang dimiliki serta bermampuan melakukan perbuatan hukum[5]. Atas dasar itu, mereka diberi kepercayaan untuk melaksanakan kepengurusan Yayasan. Ini tidak setengah-setengah, tapi kepengurusan penuh.
Hal itu sudah ditegaskan dalam pasal 35 ayat (1) dan ayat (5) serta Penjelasan UU No 16 Tahun 2001. Dalam ketentuan itu ditekankan, bahwa pengelolaan Yayasan dilakukan sepenuhnya oleh Pegurus. Penguruslah yang bertanggung jawab penuh mengelola kekayaan dan pelaksanaan kegiatan Yayasan. Pengurus pula yang diberi hak untuk mewakili Yayasan, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Hak ini tidak dimiliki oleh Pembina dan/atau Pengawas. Pembina hanya berhak mewakili Pembina dan Pengawas hanya berhak mewakili Pengawas.
Penegasan-penegasan tersebut mengandung banyak implikasi. Di antaranya, ialah pertama, kegiatan pengelolaan Yayasan dengan berbagai kegiatannya adalah urusan Pengurus. Kedua, kegiatan apa pun yang sifatnya implementasi kebijakan Pembina adalah urusan Pengurus. Pembina dan/atau Pengawas tidak boleh ikut campur, kecuali ada penyimpangan atau pelanggaran. Itupun harus dilakukan secara prosedural. Sebab jika hal itu dilakukan, maka Pembina dan/atau Pengawas yang demikian identik dengan tindakan memasuki halaman rumah orang dengan lompat pagar. Dampak dari tindakan itu bisa dibayangkan. Selain pengelolaan organisasi Yayasan kacau, potensi konflik, bahkan konflik benaran, berpeluang besar terjadi.
Untuk mencagah hal itu, maka masing-masing organ haruslah tahu diri. Pembina harus tahu batas-batas kewenangannya dan mengatur diri untuk melaksanakan kewenangan itu. Pembina harus sadar bahwa kewenangannya terbatas pada tataran kebijakan. Oleh karena itu, ia berkeharusan mengatur diri sebatas wilayah itu saja. Pengurus juga demikian. Sebagai pelaksana, ia berkeharusan melaksanakan semua kebijakan yang sudah ditetapkan Pembina.
Untuk itu, Pengurus Yayasan tidak boleh sembarangan. Syarat utamanya adalah memiliki itikad baik. UUY mengharuskan demikian. Atas dasar itu, dengan penuh tanggung jawab ia melaksanakan kepengurusan Yayasan. Jika tidak, maka resiko kelalaian dan kesalahan sekecil apa pun tidak akan ditanggungkan kepada Yayasan. Tapi pada diri Pengurus sendiri. Ini nampak dalam ketentuan Pasal 35 ayat (5), bahwa “Setiap Pengurus bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan dalam melaksanakan tugasnya tidak sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar, yang mengakibatkan kerugian Yayasan atau pihak ketiga.”
Persoalannya ialah dalam Yayasan tertentu, sering kita lihat atau baca adanya (para) Pembina yang merasa tidak puas dengan perannya yang diatur oleh UUY. Dengan dalih sebagai pendiri atau representasi dari lembaga (pada Yayasan yang didirikan oleh lembaga) ada saja di antaranya yang terlalu bersemangat mengurusi hal-hal yang merupakan urusan Pengurus. Bahkan tidak jarang ada Pembina yang menghalang-halangi Pengurus untuk mengimplementasikan kebijakan Pembina, yang justru merupakan ketetapan mereka sendiri. Contoh kasus dapat dibaca di link ini.
Pengelolaan Lembaga
Pertanyaannya, kegiatan apa yang dilakukan Pengurus dalam sebuah Yayasan? Hal ini tentu tergantung pada banyak hal. Di antaranya ialah bidang kegiatan dan besarnya organisasi Yayasan. Yayasan yang bergerak di bidang perawatan anak-anak terlantar umpamanya mungkin saja sebatas merawat anak-anak itu dengan memberi makan cukup, pakaian, tempat tinggal. Mungkin juga sampai pada pengadaan perawat dan/atau guru bila pelayanannya termasuk pendidikan. Namun, apa pun yang dilakukannya tak terlepas dari kebijakan yang telah ditetapkan oleh Pembina Yayasan.
Pada Yayasan sederhana seperti itu, boleh jadi Pengurus Yayasan langsung turun tangan memandikan, mengganti pakaian, memberi makan, mengatur jam-jam tidur, membangun sikap hidup melalui permainan atau kegiatan belajar lain, dsb. Pada Yayasan besar dengan ratusan bahkan ribuan anak-anak terlantar, kegiatan tersebut bisa lebih kompleks serta tidak lagi bersifat langsung.
Hal semacam itu bisa terlihat pada Yayasan yang bergerak di bidang Pendidikan. Dengan besarnya jumlah anak yang dilayani, maka Yayasan umumnya mendirikan sekolah. Ada yang hanya tingkat Dasar dan Menengah, dan ada juga yang sampai pada Perguruan Tinggi (PT). Tugas Pengurus pada Yayasan semacam ini jelas bukan mengajar dalam kelas. Itu urusan guru atau dosen. Wilayah tugasnya justru pada tataran pengelolaan lembaga berdasarkan norma, baik yang sifatnya akademik maupun non akademik seperti ketenagaan, dan keuangan. Pada tahap tertetu ia bertugas menegakkan norma yang telah ditetapkan Pembina. Pada tahap lainnya, ia malahan menetapkan norma sekaligus mengawal pelaksanaannya sampai pada tingkat sekolah dan/atau PT yang ia kelola.
Perlu diingat bahwa sekolah dan/atau PT dalam Yayasan semacam itu, terdapat norma lain yang harus ditaati, yaitu ketentuan-ketentuan Pemerintah yang terkait dengan urusan akademik dan non akademik. Penegakkan norma ini juga merupakan tanggung jawab Pengurus. Inilah salah satu implementasi dari istilah “perbuatan hukum” sebagaimana dikemukakan di depan.
Sebagai pelaksana misi dan bagian dari Yayasan, pimpinan sekolah atau pimpinan PT pun secara lembagawi-organisatoris terikat pada kedua norma tersebut. Ia tidak boleh berbuat sesukanya, apalagi sesuka seleranya, dengan dalih bahwa sekolah atau PT memiliki otonomi. Sebab harus disadari bahwa otonomi sekolah atau PT pada sebuah Yayasan adalah otonomi dalam bingkai Yayasan, bukan otonomi suka-suka atau otonomi selera. Inilah yang harus dikawal oleh Pengurus.
Sumber: http://yosafatigulo.blogspot.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan kasih komentar disini, semoga komentar anda baik untuk kedepan, untuk kebaikan kita semua